Sains itu indah, seksi, dan
menghanyutkan. Matematika adalah pasangan setia yang membantu mengukur
keindahan, keseksian, serta menambah derasnya arus yang menghanyutkan tadi.
Sebagai penggemar sains dan
pehobi matematika, keduanya ternyata mampu menghadirkan keindahan baru pada
kekacauan semesta, yang ternyata penuh dengan keteraturan.
Apapun kesimpulan yang didapat
setelah menafsir semesta, maka itu kembali kepada masing- masing pihak manusia
yang melakukannya.
Tapi, saya menikmatinya, sungguh
!
Berikut adalah tulisan orang
lain, namanya Ahmad Wahib. Kalau belum tahu dia siapa, bisa dicari dahulu
biografinya.
Pencarian itu terjadi saat usia
remaja, SMU tepatnya. Akar masalahnya sama, dan instrumen yang digunakan pun
mirip. Beliau mengalaminya saat awal bangku kuliah, masyarakat sedang
bergejolak, dan menemukan lingkar diskusi manusia yang berdimensi sama.
Berikut adalah tulisannya :
Perdebatan Para Ilmuan Sosial
Anggap ada 20 orang peserta
diskusi dengan satu moderator. Moderator
menuturkan pendapatnya tentang suatu gejala sosial sebagai wacana
pembuka. Moderator kemudian mempersilakan peserta berdiskusi. Hampir semua
peserta mengangkat tangan. Satu orang dipersilahkan berkomentar. Ia bicara
panjang lebar, begitu panjangnya hingga moderator gerah. Peserta diskusi lain
berebut menyerang. Moderator akhirnya terdiam dan membiarkan para ilmuan sosial
berdebat tanpa arah yang jelas.
Dalam waktu satu jam, diskusi
terarah berubah menjadi ajang pencarian kemenangan pendapat yang riuh. Hal ini
saya temukan dalam hampir semua diskusi ilmu sosial yang saya hadiri.
Pada saat semua peserta
kelelahan, suara yang paling didengar bukanlah yang paling benar, tetapi yang paling
pandai bicara dan kekeh memaksakan pendapatnya.
Perdebatan Para Ilmuan Alam
Kembali ke posisi awal. Moderator
melontarkan wacana. Ketika moderator meminta pendapat dari forum, sedikit yang
mengangkat tangan. Ketika dipersilakan, salah satu ilmuan bicara panjang lebar
dengan berbagai rumus dan hitungan di papan tulis. Semua mata ilmuan lainnya
tertuju pada pendapatnya, bukan pada beliau. Beberapa mencatat dan menghitung
kembali dengan benar serta membetulkan hitungan sang ilmuan. Hanya ada satu dua
orang yang mengkritik dan kembali ketika mereka bicara, semua mata tertuju pada
pendapat dan analisisnya.
Dalam waktu satu jam, diskusi
telah berubah menjadi kuliah dengan dua kelompok manusia, satu kelompok
pembicara dan satu kelompok pendengar. Kelompok pembicara saling berdebat
sementara kelompok pendengar menyaksikan dengan seksama dan mencatat hal-hal
penting yang mereka permasalahkan.
Strata keilmuan terlihat dengan
jelas dimana ada para pakar dan para sub pakar yang menjadi pendengar. Pada
saat semua peserta kelelahan, suara yang paling didengar adalah suara moderator
yang melakukan resume dan membuat sejumlah catatan pertanyaan untuk dikaji
lebih lanjut. Saya adalah salah satu dari kelompok pendengar.
Dalam hati saya berkata, betapa
tidak adanya keinginan saya untuk berpendapat, mereka begitu luas
pengetahuannya sementara pengetahuan saya begitu sedikit.
Apa Perbedaan Utamanya?
Karakteristik dari kedua jenis
ilmu ini menyebabkan bagaimana iklim diskusi keilmuan yang muncul. Ilmu sosial
mengkaji masalah interaksi antar manusia. Para peserta diskusi adalah manusia dan
mereka punya pengalaman berinteraksi antar manusia hampir sepanjang hidupnya.
Karenanya setiap orang dapat berbicara. Berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam
mengkaji objek tak hidup yang tidak semua orang punya pengalaman dengan objek
tersebut. Segera terbentuk gradasi pengalaman dan yang paling berpengalaman
adalah yang paling dipercaya. Karenanya, tidak setiap orang dapat berbicara.
Itu perbedaan utamanya.
Tetapi, Ahmad Wahib bertindak
lebih jauh dengan mengatakan bahwa perbedaan ini bukan hanya dalam segi
keilmuan, tetapi juga dalam segi mental. Berikut tulis beliau di halaman 279:
Ahmad Wahib pun menutup catatan
hari itu dengan menyebutkan:
“Para pure natural scientist
seperti ahli-ahli Fisika dan Kimia langsung berbicara dengan ciptaan Tuhan.
Karena itu merekalah yang paling makin merasa tidak tahu dan paling makin
merasa banyak yang tak diketahui.
Selangkah mereka lebih maju dalam penyelidikan dan pengetahuannya, lima langkah
horison ilmu pengetahuan itu lebih meluas dan itu harus pula diketahuinya. Horison
ilmu pengetahuan makin jauh. Yang ingin dicapai makin jauh. Karena itulah para
ahli fisika, kimia, matematika adalah orang-orang yang paling mengetahui
keterbatasan akal manusia, walaupun mereka itu yang paling banyak mempergunakan
akal.
Hal seperti ini tidak dialami oleh
“sarjana-sarjana” sosial, ekonomi, politik. Mereka akan sangat percaya pada
akalnya, kagum dan silau akan kemajuan sains dan teknologi buah karya natural
scientist. Natural scientist sendiri tak silau dengan karyanya. Itulah
sebabnya, para ahli fisika, kimia dan matematika adalah yang paling potensial
sebagai pengabdi Allah, sedang para ahli ekonomi, sosial, politik adalah yang
paling potensial sebagai pemberontak terhadap Allah.”
Ahmad Wahib pun menutup catatan hari itu dengan menyebutkan:
“Saya bersyukur pada Allah karena dilahirkan dengan kesempatan besar
untuk mempelajari alam fisika, matematika, biologi, yang obyek utamanya ciptaan
Allah. Saya tak langsung bicara dengan Dia, tapi saya telah berbicara langsung
dengan ciptaan-Nya dan hukum-hukum-Nya yang jelas (sunnatullah).”
Referensi : Ahmad Wahib. Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Penerbit LP3S Jakarta
Silahkan tambahkan komentar Anda, Semoga dapat sama-sama membangun. Terima kasih.
EmoticonEmoticon